makalah THOHAROH
KATA
PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha
esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan
sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan
judul “Thoharoh”, yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi
kita untuk mempelajari tatacara bersuci dalam
agama islam.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf
dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada
tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa
terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat
memberikan manfaat.
Blitar, 10 November 2014
Penulis
A.
PENGERTIAN THOHAROH
Thoharoh menurut bahasa adalah bersih, murni dari kotoran
baik hissi seperti najis maupun maknawi seperti dosa.
Sedangkan thoharoh menurut istilah adalah mengangkat hadast atau menghilangkan najis atau yang semakna dan serupa bentuk dengannya. (Al-majmu I/124, Mughni muhtaj I/16 dan Fiqhul Islam I/88)
Sedangkan thoharoh menurut istilah adalah mengangkat hadast atau menghilangkan najis atau yang semakna dan serupa bentuk dengannya. (Al-majmu I/124, Mughni muhtaj I/16 dan Fiqhul Islam I/88)
B.
BENTUK-BENTUK THOHAROH
Dari definisi di atas dapatlah kita mengetahui tentang
pembagian thoharoh, bahwa thoharoh itu ada 2 :
1.
Thoharoh dari hadast khusus pada badan yang terdiri dengan cara berwudhu, mandi
jinabat dan tayamum sebagai pengganti wudhu dan mandi manakala tak bisa
melakukannya yang akan dijelaskan kemudian;
2.
Thoharoh dari kotoran di badan, baju dan tempat dengan cara membasuh,
mengusap/menyapu dan menciprati dengan air yang akan dijelaskan kemudian.
C.
SYARAT-SYARAT WAJIB THOHAROH
Toharoh diwajibkan bagi orang berkewajiban melaksanakan
sholat. Orang yang wajib melaksanakan sholat harus memenuhi syarat-syarat
berikut. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak wajib baginya
melaksanakan sholat. Begitupun tidak wajib baginya berthoharoh. Syarat-syarat
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Islam,
oleh karena itu tidak wajib sholat dan thoharoh bagi nonmuslim.Begitupun tidak
wajib diqodho sholat dan thoharoh apabila dia masuk Islam berdasarkan firman
Allah dan ijma’ (kesepakatan ulama);
2. Berakal, oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang tidak berakal;
3. Baligh,oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang belum baligh;
4. Bersih dari haid dan nifas;
5. Masuk waktu sholat (khusus bagi yang daimul hadast);
6. Tidak sedang tidur;
7. Tidak dalam keadaan lupa;
8. Tidak dalam keadaan terpaksa;
9. Adanya air atau tanah untuk tayamun. Bagi yang tidak ada air atau tanah -menurut satu pendapat- tetap harus sholat dengan menghormati waktu solat;
10. Ada kemampuan untuk melaksanakannya (fiqhul Islam wa adilatuhu I/90-91)
2. Berakal, oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang tidak berakal;
3. Baligh,oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang belum baligh;
4. Bersih dari haid dan nifas;
5. Masuk waktu sholat (khusus bagi yang daimul hadast);
6. Tidak sedang tidur;
7. Tidak dalam keadaan lupa;
8. Tidak dalam keadaan terpaksa;
9. Adanya air atau tanah untuk tayamun. Bagi yang tidak ada air atau tanah -menurut satu pendapat- tetap harus sholat dengan menghormati waktu solat;
10. Ada kemampuan untuk melaksanakannya (fiqhul Islam wa adilatuhu I/90-91)
D. HUKUM
THOHAROH
Setiap orang yang badan, pakaian dan tempatnya terkena
najis, diwajibkan atasnya untuk membersihkannya. Allah berfirman :
وَثِيَابَكَ
فَطَهِّرْ (المزمل :4 )
… Dan akan pakainmu, maka bersihkanlah/sucikanlah (QS : Al-Mujammil :4 )
dan
أََنْ طَهِّرَا بَيْتِيْ لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَعِ السُّجُوْدِ ( البقرة: )
… Dan akan pakainmu, maka bersihkanlah/sucikanlah (QS : Al-Mujammil :4 )
dan
أََنْ طَهِّرَا بَيْتِيْ لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَعِ السُّجُوْدِ ( البقرة: )
“…..
supaya Ibrohim dan Ismail membersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang
berthowaf dan yang beri’tikaf dan yang ruku’ serta sujud.” (QS : Al-Baqoroh :
125)
Dalam
kedua ayat di atas walaupun Allah memerintahkan untuk membersihkan baju dan
tempat sholat, maka untuk membersihkan badan harus lebih diutamakan dan
diperhatikan (fiqhul Islam wa adilatuhu I/90)
E.
MACAM-MACAM YANG MENSUCIKAN
Hal-hal yang mensucikan untuk benda cair dan padat ada 5
macam :
1. Air
Mutlaq, yaitu air yang tidak ada kaid idhofie seperti air mawar, kaid wasfi
seperti air yang memancar (ماء دافق). Air mutlak ini ada tujuh macam :
a. air sumur
b. air sungai;
c. air laut;
d. air es;
e. air embun;
f. air hujan dan
g. air mata air
a. air sumur
b. air sungai;
c. air laut;
d. air es;
e. air embun;
f. air hujan dan
g. air mata air
2. Tanah,
yaitu tanah yang suci, berdebu, belum digunakan bersuci dan tidak bercampur
dengan yang lainnya seperti tepung;
3.
Penyamakan, yaitu pengambilan sisa daging yang menempel pada kulit bangkai yang
akan membusukan sekiranya diredam di dalam air dengan benda yang sepet walaupun
berupa najis seperti kotoran burung;
4.
Pencukaan, yaitu khomar (arak) yang jadi cuka dengan sendirinya tanpa ada
sesuatu yang lain yang mencampurinya;
5. Batu,
yaitu suatu batu yang bisa mensucikan kotoran atau air seni untuk bercebok
dengan syarat-syarat yang akan diterangkan kemudian. Insya Allah
Dari yang
5 lima diatas bisa dipakai untuk bermudhu dan mandi (air mutlak), bertayamum
(tanah) dan menghilangkan najis( air mutlak, penyamakan dan batu) (Tuhfatl
tulab hal :9, Al-majmu’ : I/188, Mughni muhtaj :I/17)
Sehubungan
kita diwajibkan sholat sehari semalam 5 waktu dan salah satu syaratnya adalah
suci dari hadast besar dan kecil serta najis yang mana alat bersucinya adalah
mayoritas dengan air, maka alangkah baiknya kita ketahui jenis-jenis air. Ini
perlu sekali,karena ketidaktahuan akan mengakibatkan kita ceroboh menggunakan
air sedangkan air tersebut tidak sah untuk bersuci.
F.
SIFAT-SIFAT AIR
Jenis-jenis air yang ada dan bisa kita lihat ada 5 :
1. Air
suci mensucikan serta tidak makruh digunakan
Yang
termasuk ke dalam air ini adalah air mutlak yang di atas. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا
مِنَ السَّمَاءَ مَاءً طَهُوْرًا (الفرقان 48)
“Dan telah Kami turunkan dari langit air yang suci” (QS:Alfurqon : 48)
“Dan telah Kami turunkan dari langit air yang suci” (QS:Alfurqon : 48)
2. Air
suci mensucikan serta makruh digunakannya
Yang
termasuk ke dalam air ini adalah air musyammas artinya air yang tersinari
dengan cahaya matahari. Kemakruhan ini jika terpenuhi syara-syarat :
a.
diwadahi dengan logam yang bukan terbuat dari mas dan perak;
b. berada
di daerah yang temperatur panasnya sangat tinggi terutama di musim kemarau
seperti di Mekah dan negara sekitarnya dan
c. masih
panas. Karena ada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Syafei dari Ibnu Umar.
عن أبن عمر
أنه :اَنَّهُ يَكْرَهُ الاغْتِسَالَ بِالمْاء المُشَمَّسِ : وقال: أَنَّهُ
يُوْرِثُ اْلبَرَصَ.
Dari Ibnu
Umar sesungguhnya beliau memakruhkan mandi dengan air musyammas. Dia berkata “
bahwa air tersebut akan mewariskan penyakit kusta”. ( Asnal matholib syarh
rodhotutholib : I/20 )
Jika
syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka air itu tidak makruh dipakai. Begitupun
air itu tidak makruh jika digunakan bukan pada badan seperti untuk mencuci
pakaian, mengilangkan najis di tempat. Namun Imam Nawawie berpendapat dalam
kitab Majmu dan Tanqiih “tidak ada kemakruhan secara mutlak untuk apapun “ Ini
pendapat yang kuat dan dipilih oleh para ulama Syafiiyah. ( Asnal matholib fii
syarh roudhotitholib : I/22);
3. Air
suci tidak mensucikan
Yang
termasuk ke dalam air ini ada 2 ;
a. Air
musta’mal, yaitu air yang telah terpakai untuk mengangkat hadast yang wajib (
misalnya : basuhan pertama dalam wudhu dan mandi jinabat ) atau menghilangkan
najis. Dasar hukumnya, karena orang-orang salaf dalam perjalanan tidak
mengumpulkan kembali air musta’mal untuk dipakai kedua kali bersuci, sedangkan
dia sangat membutuhkan. Mereka tidak menganggap jijik. Mereka lebih memilih
bertayamum.( Asnal matholib I/10) dan
b. Air
yang robah oleh benda suci. Air yang robah dengan benda suci ini ada 3;
1) Air
yang robah dengan mukholit (yang mencampuri tak bisa dipisahkan
/dibedakan/disisihkan dengan air) serta tidak berkaitan erat dengan air;
seperti teh, susu, kopi, sirop. Jadi bila air tercampuri dengan benda-benda
tersebut, maka air itu suci (bisa diminum) tapi tak mensucikan (tak bisa
mengangkat hadast dan menghilangkan najis) ;
2) Air
yang robah dengan mukholit serta berkaitan erat antara keduanya, seperti tempat
mengalirnya air, tempat menetapnya air hingga mengeruhkan atau merobah warna
seperti tanah, lumut, bunga teratai dll. Jika air tersebut berobah dengan hal
tersebut, maka air tersebut tetap suci serta mensucikan dan
3) Air
yang robah dengan mujawwir (yang mencampuri bisa
dibedakan/dipisahkan/disisihkan dengan air) seperti kayu, minyak, kaporit,
kapur dll. Jika air robah dengan hal tersebut, maka air itu tetap suci
mensucikan.
4. Air
Mutanajis (yang terkena najis)
Air
mutanajis ini ada 2 keadaan ;
a. Keadaan air sedikit, yaitu kurang dari 2 qullah ( 270 ltr) atau (60,1 cm P x L x T) untuk tempat persegi empat. Jika air volume kurang dari 2 qullah, maka jika terkena najis baik sedikit maupun banyak, baik berobah maupun tidak airnya, maka air tersebut jadi mutanajis (tidak suci mensucikan) sebagaimana sabda nabi :
a. Keadaan air sedikit, yaitu kurang dari 2 qullah ( 270 ltr) atau (60,1 cm P x L x T) untuk tempat persegi empat. Jika air volume kurang dari 2 qullah, maka jika terkena najis baik sedikit maupun banyak, baik berobah maupun tidak airnya, maka air tersebut jadi mutanajis (tidak suci mensucikan) sebagaimana sabda nabi :
عن ابن عمر
رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(( إِذَا بَلَغَ الْمَاءَ
قُلَّتَيْن لَمْ يَحْمِلْ خَبَثَا )) (رواه ابو داود )
“ Dari
Ibnu Umar RA ; Telah berkata ; Telah bersabda Rosulallah SAW “Apabila air telah
sampai dua qullah, maka tidak akan membawa najis “. ( HR Abu Daud)
Dari
mafhum hadist ini berarti “ air yang kurang dari dua qullah bisa jadi najis
(mutanajis) jika terkena najis “ baik berobah maupun tidak.
b. Keadaan
air banyak, yaitu air yang ada 2 atau lebih dari 2 qullah. Jika terkena najis,
maka tidak jadi mutanajis kecuali jika robah bau, warna dan rasa air. Hal ini
sebagaimana sabda Rosul SAW :
عن أبي
امامة الباهلى رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ
المَاءَلاَيُنَجِّسُهُ شَيْءٌ اِلاَّ مَاغَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ
وَلَوْنِه (رواه ابن ماجه والبيهقى)
“ Dari Abu
Umamah RA telah berkatra: Telah bersabda Rosulallah SAW : Tidak ada sesuatu
apapun yang menjadikan air najis kecuali jika air itu berobah baunya, rasanya
dan rupanya’. (HR Ibnu Majah dan Baihaqie)
5. Air suci mensucikan haram dipakainya
Yang dimaksud dengan air ini adalah air yang suci mensucikan yang diperoleh dengan cara haram seperti menghosab, mencuri atau air yang hanya diperuntukan untuk diminum di jalan Allah (Almaul musabbal). Oleh karena itu ketika menunaikan haji, lalu masuk ke masjid Haraom di Mekah atau Masjid Nabawie di madinah, maka tidak diperkenankan mengambil air yang ada di dalam masjid untuk berwudhu atau mandi, walaupun untukk di minum.
Yang dimaksud dengan air ini adalah air yang suci mensucikan yang diperoleh dengan cara haram seperti menghosab, mencuri atau air yang hanya diperuntukan untuk diminum di jalan Allah (Almaul musabbal). Oleh karena itu ketika menunaikan haji, lalu masuk ke masjid Haraom di Mekah atau Masjid Nabawie di madinah, maka tidak diperkenankan mengambil air yang ada di dalam masjid untuk berwudhu atau mandi, walaupun untukk di minum.
A. Pengertian Hadats
Hadats secara etimologi
(bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci jadi
tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah
keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara
berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini
dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan
bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.[1]
Sebagaimana
telah kami kutip dalam sebuah buku yang ditulis oleh Mustofa Kamal Pasha hal.
19 cetakan keempat tahun 2009, mengemukakan hadats ialah “keadaan tidak suci yang mengenai pribadiseorang
muslim, sehingga menyebabbkan terhalangnya orang itu melakukan shalat dan
thawaf”.Artinya shalat atau thawaf
yang dilakukannya dinyatakan tidak sah karena dalam keadaan berhadats. Adapun
yang menjadi sebab-sebabnya seseorang dihukumkan sebagai orang yang berhadats
ada bermacam-macam, yang kemudian oleh para ahli fikih dikelompkkan menjadi dua
macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.
B. Macam-Macam Hadats
1. Hadats Kecil
a. Pengertian Hadas Kecil.
Arti hadats kecil menurut istilah syara’
ialah sesuatu kotoran yang maknawi (tidak dapat dilihat dengan mata kasar),
yang berada pada anggota wudhu’, yang menegah ia dari melakukan solat atau amal
ibadah seumpama solat, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara’. Hadas kecil
ini tidak akan terhapus melainkan dengan mengambil wudhu’ yang sah. Selama mana
seseorang itu dapat mengekalkan wudhu’nya, maka selama itu ia bersih dari hadas
kecil. Sebabnya dinamakan hadas kecil ialah kerana kawasan yang didiami oleh
hadas kecil ini kecil sahaja iaitu sekadar anggota wudhu’.
1. Mengeluarkan
sesuatu dari dubur dan atau kubulnya yang
berupa:
a) Buang air kecil
atau buang air besar
Penegasan ini didasarkan
pada firman Allah SWT yang tersurat dalam al-Maaidah ayat 6.
“… atau salah satu
diantara kalian datang dari jamban (buang air)”
b) Mengeluarkan
angin busuk (kentut)
Penegasan ini didasarkan
pada sebuah hadits:
Bersabdalah Rasulullah
saw: ‘Allah tidak akan menerima shalatnya seseorang diantara kalian
jikalau ia berhadats sampai ia berwudhu’. Maka bertanyalah seorang lelaki dari
Hadramaut: ‘Apakah artinya hadats itu ya Abu Hurairah?’, Ia menjawab: ‘Kentut
dan berak’”.
2. Mengeluarkan madzi dan atau wadi
Penegasan ini
disandarkan pada keterangan hadits yang menyatakan bahwa: “Karenanya
harus berwudhu” dan karena kata Ibn Abbas r.a.: “Mengenai
mani, itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, hendaklah
engkau basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah sebagai wudhumu
untuk shalat.”
3. Menyentuh kemaluan tanpa memakai alas
Penegasan ini didasarkan
pada Hadits riwayat Muslim, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya dari Busrah binti
Shafwan r.a. bahwa Nabi saw. Telah bersabda “Barang siapa menyentuh
kemaluannya maka jangan shalat sebelum beerwudhu”
4. Tidur nyenyak dengan
posisi miring atau tanpa tetapnya pinggul di atas lantai
Hal ini didasarkan
sebuah hadits:
Telah berkata Ali r.a
bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Kedua mata itu bagaikan tali dubur.
Maka barang siapa telah tidur, berwuhulah”. (H.R. Abu Daud)
Dari penegasan seperti
di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang akan menjadi batal wudhunya
apabila terkena salah satu dari apa yang telah disebutkan di atas. Atau dengan
kata lain seseorang yang akan melakukan shalat atau thawaf, sedang dirinya
terkena salah satu dari ketiga pokok di atas, maka dirinya wajib berwudhu
terlebih dahulu. Dan penegasan di atas memberikan petunjuk pula bahwa
bersinggungan kulit diantara pria dan wanita, sekalipun keduanya tidak ada
hubungan muhrim tidaklah menjadikan batal wudhunya.
Dari Aisyah r.a. berkata
: sesungguhnya Rasulullah saw. Bershalat sedang aku berbaring di
mukanya dengan melintang bagaikan jenazah, sehingga ketika beliau akan witir,
beliau menyentuh diriku dengan kakinya.”
Wudhu’ seseorang itu akan terbatal
dengan salah satu dari 5 sebab berikut;
1) Keluar sesuatu dari 2 jalan iaitu
qubul atau dubur seperti kencing, berak atau buang angin (kentut).
2) Hilang akal dengan sebab gila
atau mabuk atau sakit.
3) Tidur nyenyak, kecuali tidur orang
yang duduk, yang tetap kedua papan punggungnya.
4) Bersentuh kulit lelaki dan kulit
perempuan yang halal berkahwin dengan tidak berlapik dan keduanya telah dewasa.
5) Menyentuh qubul atau dubur manusia
dengan tapak tangan tidak berlapik walaupun qubul atau duburnya sendiri.
1) Mendirikan solat, sama ada yang fardhu atau yang sunat.
2) Tawaf, sama ada yang fardhu atau yang sunat.
3) Menyentuh Al-Qur’an atau menanggungnya.
2. Hadats Besar
Hadats besar mengikut
istilah syara’ ertinya sesuatu yang maknawi (kotoran yang tidak dapat dilihat
oleh mata kasar), yang berada pada seluruh badan seseorang, yang dengannya
menegah mendirikan solat dan amal iadah seumpamanya, selama tidak diberi
kelonggaran oleh syara’. Selama seseorang itu tidak menempuh atau melakukan
salah satu perkara yang menyebabkanhadas besar, maka selama itu badannya suci
dari hadas besar. Sebab dinamakan hadas besar ialah kerana kawasan yang didiami
atau dikenai ole hadas besar ini terlalu luas iaitu meliputi seluruh badan dan
rambut
Sebagaimana yang telah
kami kutip dari sebuah buku yang ditulis oleh Musthafa Kamal Pasha, dalam
karyanya yang berjudul Fikih Islam, cetakan ke-4, hal: 22 beliau mengemukakan
bahwa yangmenyebabkan seseorang dihukumkan terkena hadats besar antaralian
sebagai berikut:
1. Mengeluarkan mani
(sperma)
Keluaarnya mani
seseorang dapat terjadi dalam berbagai keadaan, baik diwaktu jaga maupun
diwaktu tidur (mimpi), dengan cara disengaja atau tidak, baik bagi pria ataupun
wanita.
Bahwa Rasulullah saw.
telah bersabda: “Apabila air itu terpancar keras maka mandilah”. (H.R.
Abu Daud)
Sesungguhnya Ummu
Sulain r.a. berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mengenai
kebenaran! Wajibkah perempuan itu mandi bilamana ia bermimpi? Beliau menjawab,
benar, bila ia melihat air”. (H.R. Bukhari dan Muslim serta lainnya).
2. Hubungan kelamin
(Coitus, Jima’)
Hubungan kelamin, baik
disertai dengan keluarnya mani, ataupun belum mengeluarkannya mengakibatkan
dirinya dalam kondisi junub. Hal seperti ini didasarkan pada surat al-Maaidah
ayat 6.
“Dan jikalau kamu
junub hendaklah bersuci”.
Sesungguhnya
Rasulullah saw. Bersabda: “Jika seseorang telah duduk diantara kedua
tempat anggota badannya (menggaulinya) maka sesungguhnya wajiblah untuk mandi,
baik mengeluarkan (mani) ataupun tidak”. (H.R. Ahmad dan Muslim).
3. Terhentinya haid dan
nifas
Ketentuan ini didasarkan pada firman
Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 222:
“Dan janganlah kamu dekati istri (yang
sedang haid) sebelum mereka suci. Dan apabila sudah berxuci (mandi) maka
gaulilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian”.
Adapun terhadap hukumm
nifas, yaitu keluarnya darah dikarenakan habis melahirkan anak maka berdasarkan
ijma’ shahabhat ia dihukumkan sama dengan hukumnya haid.
1) Sholat
2) Tawaf
3) Menyentuh Al-Qur’an
4) Membaca Al-Qur’an.
5) I’tikaf
C. Macam-macam dan Cara Menghilangkan Hadats
Sebagaimana yang kami kutip dari buku
karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy hal. 94 dalam edisi yang ke-3
yang berjudul Kuliah Ibadah, mengemukakan bahwa, fuqaha hadits dalam soal wudhu
dan mandi mengamalkan sunnah-sunnah yang tidak diperoleh oleh fuqaha-fuqaha
yang lain. Mereka mencukupkan bersuci dari hadats kecil dengan menyapu sepatu,
serban atau penutup kepala (kudung) saja bagi wanita.
Dalam bukunya beliau juga mengemukakan
bahwa Ahmad telah menyusun kitab, yang menerangkan soal menyapu atas sepatu,
pembalut kaki, di dalamnya beliau terangkan nash-nash yang dipergunakan dalam
soal menyapu atas sepatu, sorban, pembalut kaki, dan kudung wanita.
Dan beliau juga mengemukakan dalam
bukunya bahwa Ummu Salamah istri Rasul pernah menyapu atas kudungnya, sebagai
ganti menyapu kepala. Serta Abu Musa dan Anas pernah menyapu atas topinya
(penutup kepalanya).
Para fuwaha tidak membolehkan kita
menyapu atas penutup kepala. Mereka memerlukan tersapu – walau – sedikit –
kepala sendiri.[2]
Seperti yang telah diditerangkan di muka bahwa untuk
menghilangkan hadats keci seseorang hany diwajibkan berwudhu, sedang untuk
menghilangkan hadatas besar maka wajiblah mandi yang sesuai dengan tuntunan
syara’, namun kalau dalam keadaan darurat dapat juga dengan tayamum.
- Wudhu
Wudhu ialah bersuci
dengan menggunakan air, mengenai muka, kedua tangan sampai siku, mengusap
kepala dan, kedua kakinya sampai di atas mata kaki. Hal ini didasarkan oleh
Allah dalam surat al-Maaidah ayat 6:
“Wahai sekalian orang beriman! Jka kalian
hendak berdiri melakukan shalat basuhlah mukamu, dan tanganmu sampai siku, lalu
sapulah kepalamu serta basuhlah kakimu hingga sampai kedua mata kaki.”
Wudhu
dalam ajaran Islam mempunyai nilai tersendiri. Ia di samping ikut serta
menentukan sah atau tidaknya shalat atau thawaf seseorang, juga akan menjadi
penghapus dosa dan mininggikan derajat. Bahkan ia menjadi tanda pengenal
sebagai umat Muhammad saw. kelak di hari kiamat.[3]
- Mandi
Istilah mandi secara
syara’ sedikit berbeda dengan pengertian mandi yang biasa dilakukan oleh setiap
orang, apakah mandi sore ataukah mandi pagi hari. Mandi yang dimaksud oleh
syara’ adalah bersuci guna menhilangkan hadats besar. Oleh karena itu pengertin
mandi dalam ajaran Islam mempunyai arti yang khas, yaitu menyiramkan
air ke seluruh tubuh, sejak dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan niat
ikhlas kkarena Allah demi kesucian dirinya dari hadats besar.[4]
Bersama Ust. H. Ahmad Bisyri, Lc, MA)
0 komentar:
Posting Komentar