Senin, 10 November 2014

makalah THOHAROH

makalah THOHAROH


KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Thoharoh”, yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari tatacara  bersuci dalam agama islam.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau menyinggu perasaan pembaca.
Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.


Blitar, 10 November 2014

Penulis













A. PENGERTIAN THOHAROH
Thoharoh menurut bahasa adalah bersih, murni dari kotoran baik hissi seperti najis maupun maknawi seperti dosa.
Sedangkan thoharoh menurut istilah adalah mengangkat hadast atau menghilangkan najis atau yang semakna dan serupa bentuk dengannya. (Al-majmu I/124, Mughni muhtaj I/16 dan Fiqhul Islam I/88)

B. BENTUK-BENTUK THOHAROH
Dari definisi di atas dapatlah kita mengetahui tentang pembagian thoharoh, bahwa thoharoh itu ada 2 :
1. Thoharoh dari hadast khusus pada badan yang terdiri dengan cara berwudhu, mandi jinabat dan tayamum sebagai pengganti wudhu dan mandi manakala tak bisa melakukannya yang akan dijelaskan kemudian;
2. Thoharoh dari kotoran di badan, baju dan tempat dengan cara membasuh, mengusap/menyapu dan menciprati dengan air yang akan dijelaskan kemudian.

C. SYARAT-SYARAT WAJIB THOHAROH
Toharoh diwajibkan bagi orang berkewajiban melaksanakan sholat. Orang yang wajib melaksanakan sholat harus memenuhi syarat-syarat berikut. Jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, maka tidak wajib baginya melaksanakan sholat. Begitupun tidak wajib baginya berthoharoh. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Islam, oleh karena itu tidak wajib sholat dan thoharoh bagi nonmuslim.Begitupun tidak wajib diqodho sholat dan thoharoh apabila dia masuk Islam berdasarkan firman Allah dan ijma’ (kesepakatan ulama);
2. Berakal, oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang tidak berakal;
3. Baligh,oleh karena itu tidak wajib bagi orang yang belum baligh;
4. Bersih dari haid dan nifas;
5. Masuk waktu sholat (khusus bagi yang daimul hadast);
6. Tidak sedang tidur;
7. Tidak dalam keadaan lupa;
8. Tidak dalam keadaan terpaksa;
9. Adanya air atau tanah untuk tayamun. Bagi yang tidak ada air atau tanah -menurut satu pendapat- tetap harus sholat dengan menghormati waktu solat;
10. Ada kemampuan untuk melaksanakannya (fiqhul Islam wa adilatuhu I/90-91) 








D. HUKUM THOHAROH
Setiap orang yang badan, pakaian dan tempatnya terkena najis, diwajibkan atasnya untuk membersihkannya. Allah berfirman :
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (المزمل :4 )
… Dan akan pakainmu, maka bersihkanlah/sucikanlah (QS : Al-Mujammil :4 ) 
dan 
أََنْ طَهِّرَا بَيْتِيْ لِلطَّائِفِيْنَ وَالْعَاكِفِيْنَ وَالرُّكَعِ السُّجُوْدِ ( البقرة: )
“….. supaya Ibrohim dan Ismail membersihkan rumah-Ku untuk orang-orang yang berthowaf dan yang beri’tikaf dan yang ruku’ serta sujud.” (QS : Al-Baqoroh : 125)
Dalam kedua ayat di atas walaupun Allah memerintahkan untuk membersihkan baju dan tempat sholat, maka untuk membersihkan badan harus lebih diutamakan dan diperhatikan (fiqhul Islam wa adilatuhu I/90)

E. MACAM-MACAM YANG MENSUCIKAN
Hal-hal yang mensucikan untuk benda cair dan padat ada 5 macam :
1. Air Mutlaq, yaitu air yang tidak ada kaid idhofie seperti air mawar, kaid wasfi seperti air yang memancar (ماء دافق). Air mutlak ini ada tujuh macam :
a. air sumur
b. air sungai;
c. air laut;
d. air es;
e. air embun;
f. air hujan dan
g. air mata air
2. Tanah, yaitu tanah yang suci, berdebu, belum digunakan bersuci dan tidak bercampur dengan yang lainnya seperti tepung;
3. Penyamakan, yaitu pengambilan sisa daging yang menempel pada kulit bangkai yang akan membusukan sekiranya diredam di dalam air dengan benda yang sepet walaupun berupa najis seperti kotoran burung;
4. Pencukaan, yaitu khomar (arak) yang jadi cuka dengan sendirinya tanpa ada sesuatu yang lain yang mencampurinya;
5. Batu, yaitu suatu batu yang bisa mensucikan kotoran atau air seni untuk bercebok dengan syarat-syarat yang akan diterangkan kemudian. Insya Allah
Dari yang 5 lima diatas bisa dipakai untuk bermudhu dan mandi (air mutlak), bertayamum (tanah) dan menghilangkan najis( air mutlak, penyamakan dan batu) (Tuhfatl tulab hal :9, Al-majmu’ : I/188, Mughni muhtaj :I/17)
Sehubungan kita diwajibkan sholat sehari semalam 5 waktu dan salah satu syaratnya adalah suci dari hadast besar dan kecil serta najis yang mana alat bersucinya adalah mayoritas dengan air, maka alangkah baiknya kita ketahui jenis-jenis air. Ini perlu sekali,karena ketidaktahuan akan mengakibatkan kita ceroboh menggunakan air sedangkan air tersebut tidak sah untuk bersuci.


F. SIFAT-SIFAT AIR
Jenis-jenis air yang ada dan bisa kita lihat ada 5 :
1. Air suci mensucikan serta tidak makruh digunakan
Yang termasuk ke dalam air ini adalah air mutlak yang di atas. Allah berfirman :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءَ مَاءً طَهُوْرًا (الفرقان 48)
“Dan telah Kami turunkan dari langit air yang suci” (QS:Alfurqon : 48)
2. Air suci mensucikan serta makruh digunakannya
Yang termasuk ke dalam air ini adalah air musyammas artinya air yang tersinari dengan cahaya matahari. Kemakruhan ini jika terpenuhi syara-syarat :
a. diwadahi dengan logam yang bukan terbuat dari mas dan perak;
b. berada di daerah yang temperatur panasnya sangat tinggi terutama di musim kemarau seperti di Mekah dan negara sekitarnya dan
c. masih panas. Karena ada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Syafei dari Ibnu Umar.
عن أبن عمر أنه :اَنَّهُ يَكْرَهُ الاغْتِسَالَ بِالمْاء المُشَمَّسِ : وقال: أَنَّهُ يُوْرِثُ اْلبَرَصَ.
Dari Ibnu Umar sesungguhnya beliau memakruhkan mandi dengan air musyammas. Dia berkata “ bahwa air tersebut akan mewariskan penyakit kusta”. ( Asnal matholib syarh rodhotutholib : I/20 )
Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi maka air itu tidak makruh dipakai. Begitupun air itu tidak makruh jika digunakan bukan pada badan seperti untuk mencuci pakaian, mengilangkan najis di tempat. Namun Imam Nawawie berpendapat dalam kitab Majmu dan Tanqiih “tidak ada kemakruhan secara mutlak untuk apapun “ Ini pendapat yang kuat dan dipilih oleh para ulama Syafiiyah. ( Asnal matholib fii syarh roudhotitholib : I/22);
3. Air suci tidak mensucikan
Yang termasuk ke dalam air ini ada 2 ;
a. Air musta’mal, yaitu air yang telah terpakai untuk mengangkat hadast yang wajib ( misalnya : basuhan pertama dalam wudhu dan mandi jinabat ) atau menghilangkan najis. Dasar hukumnya, karena orang-orang salaf dalam perjalanan tidak mengumpulkan kembali air musta’mal untuk dipakai kedua kali bersuci, sedangkan dia sangat membutuhkan. Mereka tidak menganggap jijik. Mereka lebih memilih bertayamum.( Asnal matholib I/10) dan
b. Air yang robah oleh benda suci. Air yang robah dengan benda suci ini ada 3;
1) Air yang robah dengan mukholit (yang mencampuri tak bisa dipisahkan /dibedakan/disisihkan dengan air) serta tidak berkaitan erat dengan air; seperti teh, susu, kopi, sirop. Jadi bila air tercampuri dengan benda-benda tersebut, maka air itu suci (bisa diminum) tapi tak mensucikan (tak bisa mengangkat hadast dan menghilangkan najis) ;
2) Air yang robah dengan mukholit serta berkaitan erat antara keduanya, seperti tempat mengalirnya air, tempat menetapnya air hingga mengeruhkan atau merobah warna seperti tanah, lumut, bunga teratai dll. Jika air tersebut berobah dengan hal tersebut, maka air tersebut tetap suci serta mensucikan dan
3) Air yang robah dengan mujawwir (yang mencampuri bisa dibedakan/dipisahkan/disisihkan dengan air) seperti kayu, minyak, kaporit, kapur dll. Jika air robah dengan hal tersebut, maka air itu tetap suci mensucikan.
4. Air Mutanajis (yang terkena najis)
Air mutanajis ini ada 2 keadaan ;
a. Keadaan air sedikit, yaitu kurang dari 2 qullah ( 270 ltr) atau (60,1 cm P x L x T) untuk tempat persegi empat. Jika air volume kurang dari 2 qullah, maka jika terkena najis baik sedikit maupun banyak, baik berobah maupun tidak airnya, maka air tersebut jadi mutanajis (tidak suci mensucikan) sebagaimana sabda nabi :
عن ابن عمر رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:(( إِذَا بَلَغَ الْمَاءَ قُلَّتَيْن لَمْ يَحْمِلْ خَبَثَا )) (رواه ابو داود )
“ Dari Ibnu Umar RA ; Telah berkata ; Telah bersabda Rosulallah SAW “Apabila air telah sampai dua qullah, maka tidak akan membawa najis “. ( HR Abu Daud)
Dari mafhum hadist ini berarti “ air yang kurang dari dua qullah bisa jadi najis (mutanajis) jika terkena najis “ baik berobah maupun tidak.
b. Keadaan air banyak, yaitu air yang ada 2 atau lebih dari 2 qullah. Jika terkena najis, maka tidak jadi mutanajis kecuali jika robah bau, warna dan rasa air. Hal ini sebagaimana sabda Rosul SAW :
عن أبي امامة الباهلى رضي الله عنه قال : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اِنَّ المَاءَلاَيُنَجِّسُهُ شَيْءٌ اِلاَّ مَاغَلَبَ عَلَى رِيْحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِه (رواه ابن ماجه والبيهقى)
“ Dari Abu Umamah RA telah berkatra: Telah bersabda Rosulallah SAW : Tidak ada sesuatu apapun yang menjadikan air najis kecuali jika air itu berobah baunya, rasanya dan rupanya’. (HR Ibnu Majah dan Baihaqie)
5. Air suci mensucikan haram dipakainya
Yang dimaksud dengan air ini adalah air yang suci mensucikan yang diperoleh dengan cara haram seperti menghosab, mencuri atau air yang hanya diperuntukan untuk diminum di jalan Allah (Almaul musabbal). Oleh karena itu ketika menunaikan haji, lalu masuk ke masjid Haraom di Mekah atau Masjid Nabawie di madinah, maka tidak diperkenankan mengambil air yang ada di dalam masjid untuk berwudhu atau mandi, walaupun untukk di minum.















A.  Pengertian Hadats
Hadats secara etimologi (bahasa), artinya tidak suci atau keadaan badan tidak suci  jadi tidak boleh shalat. Adapun menurut terminologi (istilah) Islam, hadats adalah keadaan badan yang tidak suci atau kotor dan dapat dihilangkan dengan cara berwudhu, mandi wajib, dan tayamum. Dengan demikian, dalam kondisi seperti ini dilarang (tidak sah) untuk mengerjakan ibadah yang menuntut keadaan badan bersih dari hadats dan najis, seperti shalat, thawaf, ’itikaf.[1]
Sebagaimana telah kami kutip dalam sebuah buku yang ditulis oleh Mustofa Kamal Pasha hal. 19 cetakan keempat tahun 2009, mengemukakan hadats ialah “keadaan tidak suci yang mengenai pribadiseorang muslim, sehingga menyebabbkan terhalangnya orang itu melakukan shalat dan thawaf”.Artinya shalat atau thawaf yang dilakukannya dinyatakan tidak sah karena dalam keadaan berhadats. Adapun yang menjadi sebab-sebabnya seseorang dihukumkan sebagai orang yang berhadats ada bermacam-macam, yang kemudian oleh para ahli fikih dikelompkkan menjadi dua macam yaitu hadats kecil dan hadats besar.
B.  Macam-Macam Hadats
1.   Hadats Kecil
a.  Pengertian Hadas Kecil.
Arti hadats kecil menurut istilah syara’ ialah sesuatu kotoran yang maknawi (tidak dapat dilihat dengan mata kasar), yang berada pada anggota wudhu’, yang menegah ia dari melakukan solat atau amal ibadah seumpama solat, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara’. Hadas kecil ini tidak akan terhapus melainkan dengan mengambil wudhu’ yang sah. Selama mana seseorang itu dapat mengekalkan wudhu’nya, maka selama itu ia bersih dari hadas kecil. Sebabnya dinamakan hadas kecil ialah kerana kawasan yang didiami oleh hadas kecil ini kecil sahaja iaitu sekadar anggota wudhu’.
1.    Mengeluarkan sesuatu dari dubur dan atau kubulnya yang berupa:
a)    Buang air kecil atau buang air besar
Penegasan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang tersurat dalam al-Maaidah ayat 6.
“… atau salah satu diantara kalian datang dari jamban (buang air)”
b)      Mengeluarkan angin busuk (kentut)
Penegasan ini didasarkan pada sebuah hadits:
Bersabdalah Rasulullah saw: ‘Allah tidak akan menerima shalatnya seseorang diantara kalian jikalau ia berhadats sampai ia berwudhu’. Maka bertanyalah seorang lelaki dari Hadramaut: ‘Apakah artinya hadats itu ya Abu Hurairah?’, Ia menjawab: ‘Kentut dan berak’”.
2.  Mengeluarkan madzi dan atau wadi
Penegasan ini disandarkan pada keterangan hadits yang menyatakan bahwa: “Karenanya harus berwudhu” dan karena kata Ibn Abbas r.a.: “Mengenai mani, itulah yang diwajibkan mandi karenanya. Adapun madzi dan wadi, hendaklah engkau basuh kemaluanmu atau sekitarnya, kemudian berwudhulah sebagai wudhumu untuk shalat.”



3.  Menyentuh kemaluan tanpa memakai alas
Penegasan ini didasarkan pada Hadits riwayat Muslim, Tirmidzi dan dishahihkan olehnya dari Busrah binti Shafwan r.a. bahwa Nabi saw. Telah bersabda “Barang siapa menyentuh kemaluannya maka jangan shalat sebelum beerwudhu”
4.   Tidur nyenyak dengan posisi miring atau tanpa tetapnya pinggul di atas lantai
Hal ini didasarkan sebuah hadits:
Telah berkata Ali r.a bahwa Rasulullah saw. Bersabda: “Kedua mata itu bagaikan tali dubur. Maka barang siapa telah tidur, berwuhulah”. (H.R. Abu Daud)
Dari penegasan seperti di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa seseorang akan menjadi batal wudhunya apabila terkena salah satu dari apa yang telah disebutkan di atas. Atau dengan kata lain seseorang yang akan melakukan shalat atau thawaf, sedang dirinya terkena salah satu dari ketiga pokok di atas, maka dirinya wajib berwudhu terlebih dahulu. Dan penegasan di atas memberikan petunjuk pula bahwa bersinggungan kulit diantara pria dan wanita, sekalipun keduanya tidak ada hubungan muhrim tidaklah menjadikan batal wudhunya.
Dari Aisyah r.a. berkata : sesungguhnya Rasulullah saw. Bershalat sedang aku berbaring di mukanya dengan melintang bagaikan jenazah, sehingga ketika beliau akan witir, beliau menyentuh diriku dengan kakinya.”
b.                  Perkara-perkara yang menyebabkan kedatangan hadas kecil (membatalkan wudhu’)
Wudhu’ seseorang itu akan terbatal dengan salah satu dari 5 sebab berikut;
1)      Keluar sesuatu dari 2 jalan iaitu qubul atau dubur seperti kencing, berak atau buang angin (kentut).
2)       Hilang akal dengan sebab gila atau mabuk atau sakit.
3)      Tidur nyenyak, kecuali tidur orang yang duduk, yang tetap kedua papan punggungnya.
4)      Bersentuh kulit lelaki dan kulit perempuan yang halal berkahwin dengan tidak berlapik dan keduanya telah dewasa.
5)      Menyentuh qubul atau dubur manusia dengan tapak tangan tidak berlapik walaupun qubul atau duburnya sendiri.
c.         Perkara-perkara yang diharamkan dengan sebab hadas kecil
1)   Mendirikan solat, sama ada yang fardhu atau yang sunat.
2)   Tawaf, sama ada yang fardhu atau yang sunat.
3)   Menyentuh Al-Qur’an atau menanggungnya.

2. Hadats Besar
a.         Pengertian hadas besar
Hadats besar mengikut istilah syara’ ertinya sesuatu yang maknawi (kotoran yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar), yang berada pada seluruh badan seseorang, yang dengannya menegah mendirikan solat dan amal iadah seumpamanya, selama tidak diberi kelonggaran oleh syara’. Selama seseorang itu tidak menempuh atau melakukan salah satu perkara yang menyebabkanhadas besar, maka selama itu badannya suci dari hadas besar. Sebab dinamakan hadas besar ialah kerana kawasan yang didiami atau dikenai ole hadas besar ini terlalu luas iaitu meliputi seluruh badan dan rambut
Sebagaimana yang telah kami kutip dari sebuah buku yang ditulis oleh Musthafa Kamal Pasha, dalam karyanya yang berjudul Fikih Islam, cetakan ke-4, hal: 22 beliau mengemukakan bahwa yangmenyebabkan seseorang dihukumkan terkena hadats besar antaralian sebagai berikut:
1.  Mengeluarkan mani (sperma)
Keluaarnya mani seseorang dapat terjadi dalam berbagai keadaan, baik diwaktu jaga maupun diwaktu tidur (mimpi), dengan cara disengaja atau tidak, baik bagi pria ataupun wanita.
Bahwa Rasulullah saw. telah bersabda: “Apabila air itu terpancar keras maka mandilah”. (H.R. Abu Daud)
Sesungguhnya Ummu Sulain r.a. berkata:”Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu mengenai kebenaran! Wajibkah perempuan itu mandi bilamana ia bermimpi? Beliau menjawab, benar, bila ia melihat air”. (H.R. Bukhari dan Muslim serta lainnya).
2.   Hubungan kelamin (Coitus, Jima’)
Hubungan kelamin, baik disertai dengan keluarnya mani, ataupun belum mengeluarkannya mengakibatkan dirinya dalam kondisi junub. Hal seperti ini didasarkan pada surat al-Maaidah ayat 6.
“Dan jikalau kamu junub hendaklah bersuci”.
Sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda: “Jika seseorang telah duduk diantara kedua tempat anggota badannya (menggaulinya) maka sesungguhnya wajiblah untuk mandi, baik mengeluarkan (mani) ataupun tidak”. (H.R. Ahmad dan Muslim).
3.  Terhentinya haid dan nifas
Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah yang terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 222:
“Dan janganlah kamu dekati istri (yang sedang haid) sebelum mereka suci. Dan apabila sudah berxuci (mandi) maka gaulilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepada kalian”.
Adapun terhadap hukumm nifas, yaitu keluarnya darah dikarenakan habis melahirkan anak maka berdasarkan ijma’ shahabhat ia dihukumkan sama dengan hukumnya haid.
b.   Perkara-perkara yang diharamkan dengan sebab berhadas besar
1)  Sholat
2)  Tawaf
3)   Menyentuh Al-Qur’an
4)   Membaca Al-Qur’an.
5)   I’tikaf
6)  Berpuasa


C. Macam-macam dan Cara Menghilangkan Hadats
Sebagaimana yang kami kutip dari buku karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy hal. 94 dalam edisi yang ke-3 yang berjudul Kuliah Ibadah, mengemukakan bahwa, fuqaha hadits dalam soal wudhu dan mandi mengamalkan sunnah-sunnah yang tidak diperoleh oleh fuqaha-fuqaha yang lain. Mereka mencukupkan bersuci dari hadats kecil dengan menyapu sepatu, serban atau penutup kepala (kudung) saja bagi wanita.
Dalam bukunya beliau juga mengemukakan bahwa Ahmad telah menyusun kitab, yang menerangkan soal menyapu atas sepatu, pembalut kaki, di dalamnya beliau terangkan nash-nash yang dipergunakan dalam soal menyapu atas sepatu, sorban, pembalut kaki, dan kudung wanita.
Dan beliau juga mengemukakan dalam bukunya bahwa Ummu Salamah istri Rasul pernah menyapu atas kudungnya, sebagai ganti menyapu kepala. Serta Abu Musa dan Anas pernah menyapu atas topinya (penutup kepalanya).
Para fuwaha tidak membolehkan kita menyapu atas penutup kepala. Mereka memerlukan tersapu – walau – sedikit – kepala sendiri.[2]
            Seperti yang telah diditerangkan di muka bahwa untuk menghilangkan hadats keci seseorang hany diwajibkan berwudhu, sedang untuk menghilangkan hadatas besar maka wajiblah mandi yang sesuai dengan tuntunan syara’, namun kalau dalam keadaan darurat dapat juga dengan tayamum.
-                     Wudhu
Wudhu ialah bersuci dengan menggunakan air, mengenai muka, kedua tangan sampai siku, mengusap kepala dan, kedua kakinya sampai di atas mata kaki. Hal ini didasarkan oleh Allah dalam surat al-Maaidah ayat 6:
“Wahai sekalian orang beriman! Jka kalian hendak berdiri melakukan shalat basuhlah mukamu, dan tanganmu sampai siku, lalu sapulah kepalamu serta basuhlah kakimu hingga sampai kedua mata kaki.”
                        Wudhu dalam ajaran Islam mempunyai nilai tersendiri. Ia di samping ikut serta menentukan sah atau tidaknya shalat atau thawaf seseorang, juga akan menjadi penghapus dosa dan mininggikan derajat. Bahkan ia menjadi tanda pengenal sebagai umat  Muhammad saw. kelak di hari kiamat.[3]
-         Mandi
Istilah mandi secara syara’ sedikit berbeda dengan pengertian mandi yang biasa dilakukan oleh setiap orang, apakah mandi sore ataukah mandi pagi hari. Mandi yang dimaksud oleh syara’ adalah bersuci guna menhilangkan hadats besar. Oleh karena itu pengertin mandi dalam ajaran Islam mempunyai arti yang khas, yaitu menyiramkan air ke seluruh tubuh, sejak dari ujung rambut hingga ujung kaki, dengan niat ikhlas kkarena Allah demi kesucian dirinya dari hadats besar.[4]


Bersama Ust. H. Ahmad Bisyri, Lc, MA)

0 komentar:

Posting Komentar